Pura Lingsar

Mengingat salah satu slogan pariwisata Lombok yaitu di Bali tidak ada Lombok tapi di Lombok ada Bali begitulah arti sebuah kata yang memaknai bahwa di Lombok banyak keturunan masyarakat Hindu Bali dengan membawa ajaran Hindu di mana sudah berkembang sejak 3 abad silam.

Invasinya kerajaan Karangasem di Bali ke Lombok hingga kini keturunan ini sudah menjadi bagian dari masyarakat Lombok yang beragama Hindu yang memiliki corak bangunan rumah maupun tempat beribadah sehingga pengunjung bisa juga merasakan suasana Bali di Lombok seperti hal keberadaan pura Lingsar di kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat yang merupakan simbol kerukunan penganut 2 agama yaitu Islam dan Hindu.

Batu yang merupakan simbol ini kalau dihitung ulang dengan mata telanjang selalu jumlahnya berbeda

Di tempat ini terdapat 2 tempat ibadah secara berdampingan yang terdiri dari bangunan pura di bagian utara yang disebut Gaduh dan di bagian selatan terdapat bangunan tempat memuja umat Islam waktu Telu dan di antara kedua agama saling toleran untuk berdampingan termasuk membuat kesepakatan bersama untuk tidak membawa makanan daging babi di tempat ini, karena haram untuk umat Islam dan dilarang membawa makanan dari daging sapi karena sapi adalah hewan yang dianggap suci oleh umat Hindu.

Di setiap setahun sekali antara kedua belah pihak penganut Hindu dan Islam waktu Telu melakukan acara perang ketupat dengan cara saling lempar dengan ketupat sebagai simbol rasa syukur atas limpahan rezeki yang diberikan Tuhan atas berlimpahnya hasil panen.

Pura Lingsar merupakan simbol harmonisasi untuk kehidupan beragama di Lombok sehingga tempat ini dijadikan destinasi pariwisata Lombok karena setiap pengunjung akan merasakan sesuatu yang unik di sini karena bagaimana mungkin paham yang berbeda  bisa beribadah di satu tempat yang sama dan menyatukan visi.

Pura ini dibangun oleh Anak Agung Ngurah Karangasem pada tahun 1741 dikarenakan raja memiliki istri dari Lombok hingga raja memberikan tempat di dalam area pura LINGSAR untuk membangun tempat memuja bagi Islam wetutelu untuk lebih jelasnya mari kita kunjungi dan kita dengarkan guide lokal yang bercerita .

Setiap pengunjung yang datang ke tempat ini akan dikenakan tiket masuk wisata dan nantinya membayar guide lokal, sebelum kita diajak jalan ke tempat – tempat objek yang akan diceritakan guide lokal akan mengajak kita ke tempat yang teduh lalu akan memperkenalkan diri sebelum menceritakan tempat tempat yang ada di sekitar kawasan pura Lingsar di sini terdiri dari banyak guide lokal di antaranya yang paling saya kenal pak Yan yang bernama asli Sayang karena di antara guide lokal di pura Lingsar pak Yan yang paling bagus cara penyampaiannya.

Di halaman Pura Lingsar, Bu Dina bersama seorang lokasl guide

Sebelum masuk ke setiap objek terlebih dahulu kita harus mengenakan selendang warna kuning yang diikatkan pada pinggang sebagai simbol penghormatan mungkin ini sudah sangat lumrah melakukan hal seperti ini di setiap tempat memasuki objek pura karena ini selalu diharuskan seperti halnya kita mengunjungi pura di Bali, setelah masing-masing mengenakan selendang kuning di pinggang barulah kita akan menuju ke dalam area pura di dalam terdapat kolam yang di dalamnya dihuni oleh ikan Tuna (seperti belut tapi berukuran besar) yang berusia ratusan tahun dan dianggap keramat.

Bisa kita lihat dengan cara melumatkan telur rebus ke dalam air kolam yang berukuran 6 x 6 meter ini dan di tengah kolam terdapat patung tapi tidak dijamin ikan belut raksasa ini akan keluar hanya pengunjung yang beruntung yang bisa melihatnya.

Saat sang pawang memanggil Belut keluar dengan sebuah telur

Lalu di tempat ini ada ritual melempar uang koin ke dalam kolam dengan cara membelakangi kolom sambil berdoa seusai hajat masing-masing lalu melempar uang logam ke dalam kolam dengan cara melempar kan uang ke belakang melalui atas kepala, tidak jarang lemparan kita kadang tidak masuk ke dalam kolam.

Yang pasti uang logam ini kita beli di area pura dengan nilai tukar yang lebih rendah dan uang-uang yang banyak terdapat dalam kolam akan dikumpulkan kembali untuk perbaikan taman area pura LINGSAR lalu kita akan menuju tempat Kemaliq  tempat memuja Islam waktu Telu dan untuk lebih jelas ceritanya yuk mendingan kita kunjungi saja dan kita tanya pak Sahyan.

Pada abad 17 merupakan era penetrasi bagi kerajaan karang Asem ( Bali ) yang mengexpansi kekuasaan hingga menduduki pulau Lombok bagian barat tanpa ada perlawanan Raja Anak Agung Ngurah Karang Asem mendirikan 4 kerajaan di Lombok yaitu : Singosari, Mataram, kerajaan Pagutan dan Pagesangan, yang merupakan kerajaan Hindu yang dibangun oleh Anak Agung Ngurah Karangasem.

Hingga kini wilayah kerajaan Pagutan dan Pagesangan merupakan wilayah kelurahan di kota Mataram adapun rentetan bukti sejarah berdirinya kerajaan Mataram yang berupa pura -pura Hindu yang berada di sekitar wilayah kota Mataram dan tidak jauh ke arah timur di kecamatan Narmada.

Lingsar dan Suranadi hingga kini penduduk Lombok juga merupakan pemeluk agama Hindu sekitar 15% sebagian besar bermukim di kota Cakranegara atau umumnya di wilayah Lombok Barat seperti kata slogan pariwisata daerah Lombok yaitu “di Bali tidak ada Lombok tapi di Lombok ada Bali” karena umat Hindu yang di Lombok juga melakukan hal yang sama seperti hal apa yang di lakukan di Bali.

Di Lombok juga ada acara pawai Ogoh-ogoh yang setiap tahun diadakan sebelum perayaan hari raya Nyepi, di sini semua lapisan masyarakat kota khususnya berbondong-bondong pada sore hari ke pusat kota Cakranegara untuk menyaksikan acara pawai Ogoh-ogoh.

Ogoh-ogoh menyerupai boneka besar yang terbuat dari bahan kertas dan bambu yang dibentuk sedemikian rupa dengan hasil yang menyentuh sebuah karya seni melambangkan kala atau hal buruk dalam kehidupan yang harus diarak sebelum dimusnahkan dengan cara dibakar atau di ditenggelamkan di Laut.

Bagian masyarakat Hindu di Lombok merupakan bagian masyarakat Lombok yang dalam keseharian mereka masih menggunakan bahasa bawaan dari Bali namun sebagian besar kakek buyut mereka lahir di Lombok hanya marga dan garis keturunan serta silsilah masih bisa di telusuri untuk mengetahui rentetan keluarga di Bali.

Hingga kini masyarakat Hindu di Lombok hidup rukun dan berdampingan baik dalam ikatan bisnis, perdagangan serta rekan kerja di kantor – pemerintahan hingga memiliki wakil – wakil di DPRD tapi lain hal dengan umat Hindu di kawasan Lombok Utara yang hingga kini juga berpopulasi besar yang keberadaannya pada saat exodus akibat meletusnya gunung Agung di Bali.

Meletus pada tahun 1964 yang menyembuhkan asap abu hingga ke pulau tetangga hingga ada sebagian masyarakat Bali yang bermukim di sekitar lereng gunung Agung  mengungsi menyeberang ke daratan Lombok Utara.